SKRIPSI HKI
Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 (Studi atas Judicial Review Pasal 2 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Pasal 28E Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)
Kata Kunci: Perkawinan Beda Agama, Putusan, Mahkamah Konstitusi
Di dalam berbagai kegiatan yang kita lakukan dalam suatu negara, kita hendaklah harus menaati peraturan suatu negara tersebut. Dimana negara Indonesia merupakan negara yang berasasskan demokrasi Pancasila. Isi Pancasila tersebut juga tercantum di dalam batang tubuh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang mana aturan tertinggi Negara Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945.
Manusia menduduki tempat sentral dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai subjek dan objek pembangunan. Pembangunan nasional pada hakikatnya ditujukan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia baik secara lahir maupun batin, sebagai manusia yang memiliki martabat. Karena pada hakikatnya seluruh manusia yang hidup di muka bumi ingin hidup secara layak dan terpenuhi segala kebutuhannya.
Di dalam perbuatan warga negara (Indonesia) semua perilakunya ditentukan/diatur di dalam Undang-Undang. Yang mana secara hierarkis kedudukan Undang-Undang berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945, maka ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Perkawinan beda agama yang salah satunya beragama Islam secara normatif tidak dapat dilangsungkan karena menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara tegas mengatur sah atau tidaknya perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaannya sedangkan kewenangan tersebut ada pada lembaga keagamaan masing-masing yang ditunjuk. Untuk agama Islam lembaga MUI telah membuat Kompilasi Hukum Islam yang secara tegas melarang perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama justru akan melanggar pasal 28E UUD 1945 karena akan melanggar hak kebebasan menjalankan agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Hal ini terjadi karena salah satu pihak akan “dipaksa” melakukan prosesi perkawinan yang bukan berasal dari agamanya. Perkawinan beda agama masih diberikan peluang melalui jalur pengadilan apabila keputusan hakim mengabulkannya, namun dengan asumsi bahwa perkawinan tersebut hanya bersifat keperdataan saja.
18SK1811056.00 | SK HKI 18.056 IND p | My Library (lantai 3, Karya Ilmiah) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain