SKRIPSI AS/HK
Legal Standing Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 (Kajian Terhadap Pendapat Hakim PA Pekalongan dan PTA Semarang atas Perkara No.130/Pdt.G/2011/PA.Pkl)
Dibawah Bimbingan Bapak H. Saif Askari, SH, MH Selaku Pembimbing I dan Bapak Iwan Zaenul Fuad, SH, MH Selaku Pembimbing II. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengangkat judul Analisis atas Presepsi Hakim Di Lingkungan Peradilan Agama Atas Legal Standing Advokat Pasca Judicial Review Mahkamah Konstitusi atas Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Pengangkatan Sumpah Advokat (Studi Kasus Putusan Hakim Atas Perkara No. 130/Pdt.G/2011/Pa.Pkl). Hal tersebut dilatarbelakangi bahwa salah satu advokat pihak berperkara ditolak beracara di Pegadilan Tinggi Agama (PTA) Semarang atas kasus putusan No. 130/Pdt.G/2011/Pa.Pkl karena belum disumpah di Pengadilan Tinggi. Padahal telah ada putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi (JR MK) terhadap pasal 4 ayat 1 UU No. 18 tahun 2003. Dalam penelitian ini, penulis menjadikan PA Pekalongan dan PTA Semarang sebagai locus research. Hal itu mengingat pada kedua lembaga peradilan itu terdapat perkara yg ketika di Peradilan tingkat Pertama (PA), legal standing advokatnya tidak dipermasalahkan, namun ketika dilakukan banding ke PTA, salah satu advokatnya ditolak legal standing-nya. Hal ini mengundang keingintahuan penulis untuk meneliti persepsi masing-masing hakim di lingkungan peradilan agama tersebut tentang legal standing advokat yang didasarkan pada tempat pengangkatan sumpah profesi advokat. Permasalahan selanjutnya adalah mengenai dasar hukum putusan atas masalah tersebut. Dengan telah dilakukannya JR MK atas pasal 4 ayat 1 UU th 2003, seharusnya hakim menaati putusan JR MK tersebut sebagai UU. Untuk itu perlu diteliti juga persepsi mereka tentang daya ikat putusan JR MK di atas hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam memutuskan perkara.
Sumpah pada hakikatnya adalah janji seseorang yang akan menjalani profesi kepada Tuhan, diri sendiri dan masyarakat, dalam hal ini adalah profesi pengacara/ advokat. Seorang advokat wajib disumpah sebelum beracara di pengadilan. Advokat yang telah disumpah berimplikasi pada legal standing advokat. Pengesampingan kewajiban ini membawa akibat hukum yaitu ditolak untuk beracara di pengadilan. Akan tetapi pada tahun 2003 dibentuk Undang Undang Advokat yang mana syarat substansialnya harus dipenuhi melalui Pengadilan Tinggi, yaitu bersumpah di hadapan Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya sesuai pasal 4 ayat 1 UU No 18 Tahun 2003. Namun pada tanggal 30 Desember 2009, Undang-Undang tersebut diajukan JR dan dikabulkan oleh MK .
Meski Putusan JR MK itu berlaku sebagai undang-undang, namun berdasarkan analisis penelitian penulis ini terkuak bahwa para hakim di lingkungan peradilan agama (PA Pekalongan dan PTA Semarang) ternyata tidak
mematuhi putusan MK tersebut. Mereka merasa lebih terikat dengan SEMA nomer 025/KMA/V/2009, bahwa advokat baru dinilai sah atau mempunyai legal standing, jika disumpah di Pengadilan Tinggi. Keterikatan mereka ini dilandasi oleh hierarki peradilan, di mana peradilan agama berada di bawah naungan MA. Walhasil, advokat yang tidak disumpah di Pengadilan Tinggi, menurut para hakim tersebut, dianggap tidak punya legal standing. Meskipun persepsi mereka ini bertentangan dg Putusan JR MK tentang cara baca atas pasal 4 ayat 1 UU no 18 tahun 2003.
Selain itu para hakim peradilan agama tersebut juga beranggapan bahwa putusan Judicial Review MK, meskipun berlaku sebagai UU, tapi boleh diabaikan jika bertentangan dengan SEMA. Hal itu karena Peradilan Agama berada dibawah naungan MA sehingga Peradilan Agama tunduk pada peraturan MA.
16SK1611039.00 | SK HKI 16.039 KHA l | My Library (Lantai 3 Skripsi) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain