Thesis
Pandangan Hakim Pengadilan Agama Sewilayah Eks Karesidenan Pekalongan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Dan Implikasinya Terhadap Penetapan Asal - Usul Anak
Perubahan aturan tentang kedudukan anak cukup signifikan terjadi saat
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Putusan
MK). Keberadaan Pasal 43 hasil judicial review menurut Chatib Rasyid, telah
menabrak rambu-rambu hukum lain tentang penentuan sahnya anak. Sedangkan
A. Mukti Arto dalam menanggapi Putusan MK, berpendapat bahwa pembuahan
kehamilan dan kelahiran anak merupakan peristiwa alamiah yang tidak terikat
dengan tatanan hukum karena terjadi berdasarkan sunnatullah sehingga terbebas
dari nilai hukum (wajib, sunnah, halal, sah, batal dan tidak sah), akibatnya anak
yang dilahirkan tidak terikat dengan penilaian hukum tentang sah dan tidak sah
ataupun dosa dan pahala. Putusan MK berlaku sebagai undang-undang sehingga
bersifat general, tidak individual, dan tidak kasuistis. Putusan MK digunakan oleh
para hakim Pengadilan Agama (PA) untuk menyelesaikan perkara asal-usul anak
dengan segala akibat hukumnya. Putusan MK berlaku mengikat sejak diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum, dan menjadikan Pasal 43 (1) Undang-Undang
Perkawinan tidak berkekuatan hukum lagi dan tidak mengikat, dan digantikan
dengan Putusan MK.
Masalah yang menjadi pembahasan mengenai pandangan hakim Pengadilan
Agama (PA) sewilayah eks Karesidenan Pekalongan dan implikasinya terhadap
penetapan asal-usul anak. Hasil penelitian ini diharapkan untuk pengembangan
hukum keluarga khususnya hukum keluarga Islam yang bisa dikembangkan
secara akademis.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris, dengan pendekatan
kualitatif. Adapun pengumpulan data melalui studi pustaka dan pengumpulan data
primer melalui wawancara dengan hakim PA. Teknik analisis dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisis model interaktif (interactive model of analysis).
Pandangan hakim PA sewilayah eks Kresidenan Pekalongan tentang
Putusan MK, hakim terikat dengan Putusan MK karena sifatnya final merubah
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, lebih khusus mengikatnya dalam
hal pembuktian dengan ilmu pengetahuan/teknologi atau “tes DNA” apabila
dibutuhkan. Namun, memberikan batasan “anak di luar perkawinan” adalah anak
hasil perkawinan tidak dicatat (nikah sirri). Pemahaman demikian karena hakim
PA melihat latar belakang dari Putusan MK. Implikasinya terhadap penetapan
asal-usul anak, hakim PA sewilayah eks Karesidenan Pekalongan dalam
memeriksa dan menetapkan asal-usul anak dengan melihat norma “anak sah”,
sehingga bagi hakim perlu memeriksa sahnya perkawinan orang tua anak.
Sebagaimana Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan: “Anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Menafsirkan anak di
luar perkawinan menjadi “anak nikah sirri”, menandakan tidak terwujudnya
kepastian hukum anak di luar perkawinan setelah adanya Putusan MK. Apabila
hakim PA sewilayah eks Karesidenan Pekalongan tidak memberikan batasanbatasan
tersebut, bisa mungkin terjadi semua kriteria anak di luar perkawinan
mendapatkan status asal-usulnya tanpa melihat perkawinan orang tuanya.
Kata Kunci: Pandangan Hakim, Putusan MK, Penetapan Asal-usul Anak.
16TS1652002 | TS P.HKI 16.002 AYU p | My Library (Lantai 3, Thesis) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain