BUKU
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Kebijakan Publik
pemukulan oleh mandor dan pemilik pabrik, dilarang bersosialisasi dan komunikasi baik dengan keluarga maupun masyarakat sekitar bahkan mereka tidak diberikan tempat tinggal yang layak. Menurut pengamatan penulis akar utama permasalahan tersebut adalah faktor ekonomi, para buruh datang bekerja ke Tangerang dengan harapan akan mendapatkan hidup lebih baik. Perisitiwa tersebut menyisakan tanda tanya besar sampai dimanakah keberhasilan pembangunan Indonesia saat ini ?
Definisi pembangunan menurut Soejono Soekanto (1982) adalah suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu, dimana proses pembangunan itu sendiri harus bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara spritual maupun material. Oleh karena itu pembangunan sebagai sebuah proses perubahan sudah seharusnya menciptakan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana dikemukakan Agus Salim (2000) bahwa pembangunan adalah sebuah proses perencanaan sosial (social plan) yang dilakukan oleh birokrat perencanaan pembangunan, untuk membuat perubahan sosial yang akhirnya dapat mendatangkan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Ada empat model pembangunan menurut Suryana (2000) yaitu model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, pengahapusan kemiskinan, dan model pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Keempat model pembangunan tersebut bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup, meningkatkan barang-barang dan jasa, menciptakan lapangan kerja baru dengan upah yang layak, sehingga tercapailah tingkat hidup minimal untuk seluruh rumah tangga yang kemudian sampai batas maksimal.
Pembangunan Indonesia yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ternyata belum berhasil membangun harkat dan martabat manusia secara hakiki. Berdasarkan data agregat yang berskala dunia PBB mencatat bahwa pembangunan terutama hanya menghasilkan pertumbuhan secara material, sehingga tidak mampu menghasilkan lapangan kerja yang memadai, tidak mengenal belas kasihan, karena cenderung menguntungkan sebagian orang saja, tetapi “menterlantarkan” lebih dari satu milyar orang di dunia ini yang hidup dibawah garis kemiskinan, tidak mengakar pada dinamika ekonomi masyarakat setempat, bahkan cenderung mencabut manusia dari akar budayanya, terlalu banyak ditentukan oleh para “pemimpin pembangunan” (tehnokrat), tetapi kurang mampu mendengar dan mengakomodasi aspirasi rakyat, terutama kaum perempuan, serta tidak jelas masa depannya, karena telah merusak lingkungan dan “menghabiskan” sumberdaya yang tak dapat diperbarui sampai tingkat yang amat mengkhawatirkan. Sehingga David Korten mengemukakan bahwa “pembangunan” itu justru telah telah menjerumuskan dunia kedalam tiga krisis besar dan mendasar yaitu kemiskinan, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup.
Pembangunan harus menempatkan manusia sebagai subjek yang berperan aktif, sehingga proses pembangunannya harus menguntungkan semua pihak. Oleh karena itu, perhatian utamanya menyangkut masalah kemiskinan, kelompok rentan, dan peningkatan pengangguran. Masalah-masalah tersebut rawan memicu ketidakstabilan dibidang keamanan, politik, serta sosial ekonomi yang sangat membahayakan pelaksanaan pembangunan.
Pemerintah diharapkan konsisten melaksanakan komitmen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dengan cara-cara yang adil dan tanpa mengecualikan masyarakat miskin akan meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari oleh hak-hak asasi manusia, nondiskriminasi, dan memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung (Harry, 1999).
Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat lebih menekankan pada pemberdayaan, yaitu menekankan kenyataan pengalaman masyarakat dalam sejarah penjajahan dan posisinya dalam tatanan ekonomi internasional.
Korten dan Carner (1993), menyatakan konsep pembangunan berpusat pada rakyat memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang paling utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan.
Buku berjudul Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik ini sangat cocok menjadi acuan para birokrat, politisi, akademisi, praktisi/fasilitator maupun Widyaiswara dalam rangka pemberdayaan sebagai proses pembelajaran guna mendukung kebijakan pemerintah dalam perspektfi kebijakan publik. Buku ini dalam bab 1 dan bab 2 mengkritisi pelaksanaan pembangunan sebagai upaya dan proses perubahan dalam kaitannya dengan ketercapaian tingkat kesejahteraan atau mutu hidup suatu masyarakat serta individu-individu yang berada didalamnya. Permasalahan, kendala dan kesenjangan yang muncul tidak hanya berasal dari penerapan teknologi namun juga pada pelaksanaan kebijakan, pembinaan, dan pengembangan kelompok pelaku-pelaku pembangunan, serta masalah yang datang dari luar seperti bencana alam dan pengaruh globalisasi. Bab 3 membahas konsep pemberdayaan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan berbasis pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai jembatan bagi konsep-konsep pembangunan makro dan mikro. Dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat merupakan rangsangan untuk memacu kegiatan sosial ekonomi masyarakat.
Didalam Bab 4 menelaah tentang pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat, dalam konteks ini terutama mereka yang miskin sumber daya, kaum perempuan dan kelompok yang termarjinalkan lainnya didukung agar mampu meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri. Pemberdayaan merupakan proses pembelajaran; proses penguatan kapasitas individu, kelembagaan, sistem, perubahan sosial dan pembangunan masyarakat; serta proses pengembangan partisipasi. Bab 5 membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan filosofi dan prinsip pemberdayaan. Terkait dengan falsafah pemberdayaan Lao Tzu mengajarkan “Pergilah kepada mereka (masyarakat), hiduplah bersama mereka,mulaiah dari mereka, bekerjalah bersama mereka, bangunlah diatas apa yang mereka miliki, tetapi sebagai pemimpin yang terbaik, ketika semua tugas telah diselesaikan, pekerjaan telah dilengkapi, mereka (masyarakat) akan mencatat : kami telah menyelesaikannya sendiri”. Pemberdayaan masyarakat didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan meliputi : kesukarelaan, otonom, keswadayaan, partisipatif, egaliter, demokrasi, keterbukaan, kebersamaan, akuntabilitas, dan desentralisasi. Pemberdayaan bertujuan melakukan upaya perbaikan pendidikan, perbaikan aksesibilitas, perbaikan tindakan, perbaikan tindakan, perbaikan kelembagaan, perbaikan usaha,perbaikan pendapatan, perbaikan lingkungan, perbaikan kehidupan dan perbaikan masyarakat. Bab 6 mengidentifikasi lingkup dan tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Lingkup kegiatan pemberdayaan masyarakat meliputi bina manusia, bina usaha, bina lingkungan, dan bina kelembagaan. Tahapan kegiatan pemberdayaan terdiri dari seleksi lokasi/wilayah, sosialisasi pemberdayaan masyarakat, proses pemberdayaan masyarakat dan pemandirian masyarakat. Bab 7 membahas tentang penerima manfaat dan fasilitator pemberdayaan masyarakat. Penerima manfaat dalam hal ini kelompok sasaran bukanlah obyek sehingga dalam proses belajar yang berlangsung adalah proses belajar bersama yang partisipatif. Kelompok sasaran masing-masing memiliki karakteristik yang perlu diperhatikan diantaranya karakteristik pribadi, status sosial ekonomi, perilaku keinovatifan serta moral ekonomi masyarakat. Fasilitator adalah agen perubahan yang berkewajiban untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penerima manfaat dalam mengadopsi inovasi. Fasilitator dibedakan berdasarkan status dan lembaga tempat bekerja : PNS, Penyuluh/Fasilitator dan Penyuluh/Fasilitator. Bab 8 mengupas tentang pendekatan dan strategi pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks pekerjaan sosial pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu mikro,messo dan makro. Menurut Edy Suharto (1997) ada 5 (lima) aspek penting dalam pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan dan advokasi terhadap masyarakat miskin yaitu ; motivasi, pendekatan kesadaran dan pelatihan kemampuan, manajemen diri, mobilisasi sumber daya, pembangunan dan pengembangan jaringan. Kelima aspek pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui 5 (lima) P strategi pemberdayaan yaitu pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan. Bab 9,10 dan 11 menguraikan tentang pengenalan wilayah kerja, metode dan materi pemberdayaan sosial. Teknik penilaian partisipaif (PRA) merupakan teknik pengenalan wilayah dengan cara pelaksanaan survei partisipatif atau survei mandiri yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan difasitasi penyuluh serta penilaian keadaan secara partisipatif. Pemahaman fasilitator terhadap wilayah kerja diperlukan dalam menyusun program pemberdayaan masyarakat. Pengenalan wilayah kerja tersebut meliputi keadaan masyarakat penerima manfaat, keadaan alam, keadaan lingkungan fisik dan sosial, sumber daya, keadaan kelembagaan, kegiatan usaha, sarana dan prasarana, masalah-masalah yang dihadapi, kendala-kendala, serta faktor pendukung program yang akan dilaksanakan. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode seperti tatap muka, percakapan tak langsung, demonstrasi, barang cetakan, media massa, serta kampanye. Disamping metode tersebut dikembangkan metode pemberdayaan partisipatif yaitu RRA (rapid rural appraisal), PRA (partisipatory rapid appraisal), FGD (focus group discussion), PLA (partisipatory learning and action), Sekolah Lapang, dan Pelatihan Partisipatif. Beberapa materi dalam program pemberdayaan masyarakat antaralain mengenai pengetahuan tentang ilmudasar,hasil riset terapan dan pengembangan pengujian serta pesan pengguna.
Bab 12 dan 13 perencanaan serta pemantauan dan evaluasi program/kegiatan pemberdayaan masyarakat. Model perumusan perencanaan program pemberdayaan masyarakat sebagaimana dikemukakan Mardikanto (2009) merupakan siklus yang terdiri dari 9 tahapan, yaitu : pengumpulan data keadaan, analisis dan evaluasi fakta, identifikasi masalah, pemilihan masalah yang ingin dipecahkan, perumusan tujuan-tujuan dan atau penerima manfaat-penerima manfaat, perumusan alternatif pemecahan masalah, penetapan cara mencapai tujuan (rencanakegiatan), pengesahan program pemberdayaan masyarakat, perumusan rencana evaluasi, serta rekonsiderasi. Antara perencanaan dan pemantauan dan evaluasi merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat menurut Mardikanto (2003) menggunakan beberapa indikator diantaranya mencakup : jumlah warga yang secara nyata tertarik untuk hadir dalam tiap kegiatan yang dilaksanakan, frekwensi kehadiran, tingkat kemudahan penyelenggaraan program ide baru, jumlah dan jenis ide masyarakat, jumlah dana dari masyarakat, intensitas kegiatan petugas, peningkatan partisipasi masyarakat dan peningkatan tingkat kesehatan masyarakat. Sehubungan dengan pelaksanaan evaluasi program pemberdayaan, maka untuk mengukur tingkat produktifitas dan pendapatan masyarakat digunakan skala interval. Sedangkan, untuk mengukur perubahan perilaku (tingkat adobsi) yang meliputi pengetahuan, sikap, serta ketrampilan menggunakan skala kardinal.
16TD160478.00 | TD 307.14 MAR p | My Library (lantai 2, Tandon) | Tersedia |
16SR160478.01 | SR 307.14 MAR p C.1 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Sedang Dipinjam (Jatuh tempo pada2024-11-11) |
16SR160478.03 | SR 307.14 MAR p C.3 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160478.04 | SR 307.14 MAR p C.4 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160478.05 | SR 307.14 MAR p C.5 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
23SR230868.02 | SR 307.14 MAR p C.2 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain