BUKU
Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin : Dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Hakekat kedudukan hukum anak luar kawin di dalam UU perkawinan adalah belum tuntas, khususnya bagaimana hubungan hukumnya dengan ayah biologisnya. Keberadaan kawin siri, khususnya yang dilakukan oleh seorang pria yang sudah beristeri dengan wanita lain, menjadi bahan kajian banyak pihak semenjak berlakunya UU Perkawinan. Perdebatan menjadi sengit, kalau dari perkawinan siri tersebut khususnya yang dilakukan oleh laki-laki yang masih terikat tali perkawinan sah dengan isterinya sampai melahirkan anak, dimana isterinya tidak pernah menyetujui suaminya untuk berpoligami. Sesuai dengan pemikiran yuridis, hukum perkawinan yang belaku di Indonesia adalah UU Perkawinan, sebagai hukum positif, berarti untuk mengatur sah tidaknya suatu perkawinan ditetapkan oleh Pasal 2 UU Perkawinan yakni harus diselenggarakan berdasar hukum agama dan kepercayaannya, lalu perkawinan tersebut harus dicatat sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Seperti diketahui, perkawinan siri hanya dilaksanakan berdasarkan hukum agama, khususnya agama islam, mengingat kawin siri banyak dilakukan oleh orang-orang islam yang sudah beristeri. Apabila dari perkawinan tersebut lahir anak, berdasarkan Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan, maka anak yang bersangkutan tergolong sebagai anak luar kawin, dan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya, ternyata oleh Pasal 43 ayat 2 UU Perkawinan masih dijanjikan untuk diatur lebih lanjut, dan kenyataannya sempai setengah abad lebih aturan yang dimaksud belum juga ada. Berarti anak luar kawin siri tersebut, berdasarkan UU Perkawinan kedudukan hukumnya tidak jelas kalau dikaitkan dengan ayah biologisnya. Pengaturan tentang kedudukan hukum anak luar kawin di dalam UU Perkawinan belum tuntas,padahal dalam kehidupan masyarakat, kawin siri ini yang dari perkawinan tersebut lahir anak, menjadi tidak jelas. Hal ini dalam masyarakat tentunya merupakan ganjalan yang sangat menyesakkan, mengingat kepentingan anak luar kawin hasil perkawinan siri sepatutnya sama seperti halnya anak sah yaitu tentunya harus memperoleh kehidupan dan pertumbuhan yang layak.
Para hakim yang yang memeriksa dan mengadili perkara mengenai kedudukan hukum anak luar kawin khususnya terhadap ayah biologisnya, sudah sepatutnya wajib menjadikan Putusan MK Nomor :46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tersebut sebagai acuan. Ini perlu digaris bawahi, mengingat untuk merubah UU Perkawinan risikonya berat, tetapi jika para hakim mempedomani Putusan MK Nomor :46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 dalam arti hubungan perdata yang sempit antara anak luar kawin dan ayah biologisnya, maka akan terbentuk Hukum Yurisprudensi yang nilai yuridisnya sama dengan hukum perundang-undangan, sehingga kekurangan dalam UU Perkawinan dapat ditutup atau disempurnakan. Terlebih lagi umum sangat memahami, bahwa Hukum Yurisprudensi adalah hukum yang lebih up to date ketimbang hukum perundang-undangan, karena para hakim pembentuk Hukum Yurisprudensi selalu diharapkan lebih peka dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Selain itu perlu adanya penunjang lain yang dapat membantu pertumbuhan Hukum Yurisprudensi, yaitu mengembangkan juga Hukum Doktrin, di mana para sarjana hukum hendaknya memberikan kotribusinya lewat karya-karya ilmiah yang objektif dan inovatif.
16TD160310.00 | TD 346.017 SUJ k | My Library (lantai 2, Tandon) | Tersedia |
16SR160310.01 | SR 346.017 SUJ k C.1 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160310.02 | SR 346.017 SUJ k C.2 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160310.03 | SR 346.017 SUJ k C.3 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160310.04 | SR 346.017 SUJ k C.4 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160310.05 | SR 346.017 SUJ k C.5 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain