SKRIPSI HKI
Konsep Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah Tentang Mahar Jasa Dalam Pernikahan (Sebuah Tinjauan Komparatif)
Mahar dalam pernikahan Islam walaupun bukan suatu unsur atau rukun, tetapi merupakan suatu keharusan bagi seorang laki-laki untuk membayar mahar kepada calon istrinya. Mahar meupakan pemberian calon suami kepada calon istrinya, sebagai tanda dengan pemberian itu telah menyatakan persetujuan dan kerelaannya untuk hidup bersama sebagai suami istri. Agama Islam tidak menentukan batasan maksimal dan minimal dalam memberikan mahar. Sehingga kewajiban memberi mahar berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Islam juga tidak menentukan bentuk mahar, kecuali terhadap barang-barang yang diharamkan oleh Allah. Penelitian ini membahas mengenai apa yang dimaksud dengan nikah menggunakan mahar jasa, bagaimana pendapat Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah mengenai nikah menggunakan mahar jasa, dan bagaimana istinbath hukum Imam al Syafii dan Imam Abu Hanifah mengenai nikah menggunakan mahar jasa. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan atau library research dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa Imam as Syafii, dalam kitab al Umm menegaskan, mahar itu dapat berupa nilai dari beberapa yang mempunyai nilai, dan segala sesuatu yang pantas mengandung nilai, maka pantas menjadi mahar. Sebagaimana seorang perempuan yang dinikahkan kepada seorang laki-laki yang memberikan maharnya dengan cara menjahitkan baju, membangun rumah, mengajak rekreasi atau mengerjakan sesuatu pekerjaan kepadanya. Sedangkan menurut Abu Hanifah menolak atau melarang adanya nikah menggunakan mahar jasa. Tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan jika terjadi pada golongan hamba sahaya. Yaitu dengan cara mengabdi atau menjadi pelayan selama satu tahun karena budak dan tawanan pada hakekatnya adalah harta atau pelayan tidak dapat menghasilkan uang dengan sendirinya.
08TD089050.00 | SK 2X4.313 FAI k C.0 | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain