SKRIPSI HKI
Status Hukum Pernikahan Wanita Yang Masih Terikat Perkawinan Siri (Studi Komparasi Pandangan Kyai Dan Penghulu)
Berdasarkan hasil observasi awal, di Desa Wonotunggal Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang beberapa tahun lalu pernah terjadi perkawinan siri antara si A dengan si B. Pernikahan tersebut telah berlangsung selama ± 3 bulan, namun ketika menginjak bulan ke-4 B meninggalkan A untuk kembali dengan istri sahnya yang sebelumnya berpisah rumah. Namun ketika B meninggalkan A, B tidak mengucapkan kata perpisahan ataupun perceraian yang menandakan bahwa hubungan pernikahan antara B dan A tersebut selesai. Setelah 2 tahun kemudian A bertemu dengan C, mereka berkenalan selama beberapa bulan, dan C memutuskan untuk mengajak A menikah secara resmi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komparasi dari pandangan Kyai Pesantren dan Penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) terhadap status hukum pernikahan wanita yang masih terikat perkawinan siri dan untuk mengetahui kajian hukum agama dan hukum positif terhadap pandangan kyai pesantren dan penghulu KUA terhadap status hukum pernikahan wanita yang masih terikat perkawinan siri. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dengan sifat studi komparatif. Sedangkan pendekatannya menggunakan kualitatif. Data primer diperoleh dengan teknik wawancara kepada Bapak Kyai Pondok Pesantren Tahfidzul Quran (PPTQ) Al-Ikhlas Wonotunggal dan Bapak Penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Wonotunggal dan data sekunder berupa buku, jurnal, dan literatur terkait yang diperoleh dengan teknik dokumentasi. Data dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif dengan model interaktif dari Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini mengumpulkan bahwa 1). Terdapat perbedaan pandangan antara Bapak Kyai Abdul Khamid dan Bapak H. Abrori, S.Ag terkait dengan status hukum pernikahan wanita yang masih terikat perkawinan siri. Bapak Kyai Abdul Khamid mengungkapkan bahwa pernikahan wanita yang masih terikat perkawinan siri hukumnya haram. Sedangkan Bapak H. Abrori, S.Ag menyatakan bahwa selama perkawinan siri tidak dicatatkan atau tidak diisbath nikahkan maka pernikahan wanita tersebut sah secara hukum negara. 2). Jika ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif, maka tindakan yang dilakukan oleh Penghulu dan Kyai Pondok pesantren sudah tepat. Karena tindakan yang diambil oleh keduanya telah didasari dengan hukum yang berlakukan dimasing-masing lingkup wewenangnya yaitu Bapak Kyai menggunakan hukum agama atau hukum Islam dan Bapak Penghulu menggunakan hukum positif.
24SK2411104.00 | SK HKI 24.104 FAT s | My Library (Lantai 3, R. Local Content) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain