SKRIPSI HTN
Penerapan Teori Hukum Murni dan Teori Hukum Progresif Studi Komparasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Penelitian membahas mengenai perbandingan penerapan teori hukum murni dan teori hukum progresif. Teori hukum murni merupakan teori yang menafsirkan hukum dan berusaha untuk menjauhkan objek penafsirannya yang tidak berkaitan dengan hukum, serta berusaha membatasi unsur-unsur sosiologi, psikologi, etika, dan politik. Oleh karena itu, Hans Kelsen menyampaikan bentuk kemurnian terhadap teori hukum dan tujuannya menghapus seluruh komponen yang tidak krusial dan memisahkannya dengan Jurisprudence dari pengetahuan social. Karakteristik teori hukum murni yaitu hukum terbebas dari moral, politik, ekonomi, dan penyebab diluar hukum lainnya, hukum harus objektif tanpa prasangka, dan memiliki sifat rasional. Teori hukum progresif merupakan proses mencari suatu kebenaran yang tidak akan berhenti, berawal dari kenyataan aturan di masyarakat yang dirancang untuk memungkinkan manusia hidup senang, adil, serta sejahtera. Karakteristik teori hukum progresif yaitu hukum harus berfokus pada manusia, bersifat pro keadilan, memiliki tipe responsif, berupaya membangun negara hukum yang konstitusional dengan berlandaskan hari nurani. Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana perbandingan dan akibat hukum penerapan teori hukum murni dan teori hukum progresif dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Jenis penelitian ini “doktrinal” dengan yuridis normatif, menggunakan pendekatan perbandingan, konseptual serta studi kasus. Sumber data yang digunakan, bahan hukum primer (putusan Mahkamah Konstitusi No.85/PUU-XX/2022 dan No.91/PUU-XVIII/2020) dan bahan hukum sekunder (jurnal, artikel, skripsi, buku, disertasi dan hasil penelitian yang relevan). Dianalisis menggunakan reduksi, display atau penyeleksian serta simpulan data. Peneliti berpendapat, perbandingan dalam aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, teori hukum progresif lebih baik karena fleksibel dalam memutuskan perkara di Mahkamah Konstitusi daripada teori hukum murni yang cenderung lebih kaku. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peran sebagai pembatal norma (Negative Legislature). Dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUUXVIII/2020 mengedepankan keadilan substantif, sehingga Mahkamah Konstitusi berperan menemukan norma baru dan bersifat mengatur (Positive Legislature).
24SK2413006.00 | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain