SKRIPSI IAT
Kontruksi Sosial Mengenai Praktik Tafakur di Situs Watu Tumpeng Desa Kecepit Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang (Prespektif Ayat-Ayat Tafakur)
Situs Watu Tumpeng merupakan tempat bersejarah yang berada di Desa Kecepit Kecamatan Randudongkal Kabupaten Pemalang. Situs ini telah disahkan menjadi Wisata Cagar Budaya dan telah mendapat SK Bupati Pemalang. Tempat ini merupakan salah satu warisan budaya yan dulunya dijadikan sebagai tempat pembuatan pusaka era Majapahit yang dikeramatkan. Tak heran jika banyak pengunjung dari dalam hingga luar kota seperti Jawa, Bali Palembang, Jakarta, Kalimantan, Papua dan sebagainya. Pengunjung datang termotivasi untuk mendapatkan ketentraman hati, keberkahan ataupun pengobatan spiritual. Hal ini biasa dilakukan dengan berziarah dengan bertawasul, atau bertafa dalam bahasa jawa atau bertafakur dalam bahasa Arab. Namun disayangkan masyarakat sekitar sendiri hampir tidak ada yang berkunjung ke situs tersebut. Dengan dugaan bahwa di situs tersebut adalah tempat untuk pertapaan mencari pesugihan. Maka Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan praktik tafakur di Situs Watu Tumpeng ini, dan untuk mengetahui resepsi masyarakat mengenai praktik tafakur ini dengan landasan ayat tafakur surat Ali Imran ayat 190-191 dan surat Ar-Rum ayat 8. Penelitian ini diharapkan dapat menguak asumsi tersebut. Maka perlu pemahaman yang multidisipliner dari berbagai sudut pandang masyarakat. Penelitian ini termasuk field research dengan menggunakan metode kualitatif. Serta memakai pendekatan fenomenologi. Sumber dan pengumpulan didapat dari hasil observasi, wawancara, dokumentasi, penelusuran buku atau karya tulis lainya. Adapun teknik pengolahan data menggunakan pendekatan psikologis Moustakes. Hasil penelitian tafakur di Situs Watu tumpeng menggunakan istilah tafa, semedi, nyepi bukan tafakur. Akan pelaksanaannya sama halnya bertafakur yaitu merenungkan diri yang dibarengi dengan membaca surat-surat pendek, sholawat, dzikir tertentu dan mengucap kata “Sehat bagas waras” sebagai adat untuk mendapat keselamatan. Tafakur disini pula memakai sesajenan, bunga-bunga, kopi, nginang sebagai bentuk simbol kehidupan. Adapun pelaksanaannya dilakukan pada larut malam. Hal ini mempengaruhi asumsi masyarakat setempat yang digolongkan menjadi tiga tipologi. 1. Menolak (tempat syirik), 2. Netral, (mempersilahkan karena hak masing-masing). 3. Menerima, (memanfaatkan tempat sesuai kebutuhan). Adapun kontruksi sosial yang terjadi ialah 1. Ekternalisasi, menganggap tempat pesugihan, tempat tafakur, tempat pelestarian budaya. 2. Objektifikasi, Pemahaman surat Ali imran ayat 190 mengenai kebebasan tempat, waktu dalam bertafakur tidak harus disitus dan surat Ar-Rum ayat 8 mengenai tafakur diri sendiri untuk meningkatkan rasa syukur, cinta, tawadhu atas kuasaNya Allah. 3. Internaslisasi, pengunjung ialah orang yang melakukan penyimpangan agama. Sedangkan mereka datang adalah sebuah usaha dalam menggapai ketenangan jiwa
23SK2331084.00 | SK IAT 23.084 IDN k | My Library (Lantai 3, Local Content) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain