SKRIPSI HKI
Pandangan Kiai Terhadap Pernikahan Siri dengan KIAI sebagai Wali Hakim Bagi Perempuan Berwali di Pekalongan Barat dan Selatan
Secara etimologi, siri berasal dari kata as-sirru yang artinya perkara yang dirahasiakan. Bentuk jamak dari kata asraarun. Sedangkan pengertian nikah siri secara terminologi adalah pernikahan yang diperintahkan agar dirahasiakan. Atau dalam versi lain, pernikahan yang dilangsungkan tanpa tasyhir (pengumuman kepada khalayak umum). Namun, yang tersebar di kalangan masyarakat umum, nikah siri sering kali diartikan sebagai pernikahan yang dilangsungkan tanpa adanya wali atau saksi, atau pernikahan yang dilangsungkan menggunakan wali tanpa adanya saksi. Yang penulis maksud dalam penelitian ini ialah pernikahan siri yang dimaknai sebagai pernikahan yang dilakukan dengan wali antara mempelai laki-laki dan perempuan dengan dihadiri wali tanpa adanya saksi-saksi. Namun, wali yang hadir tersebut bukanlah wali yang sebenarnya, tetapi seorang kiai yang sengaja diminta kehadirannya oleh kedua mempelai sebagai wali pengganti, meskipun pada kenyataanya mempelai perempuan tersebut masih memiliki wali yang lebih berhak menjadi wali dan bisa dipastikan kehadirannya. Baik dalam pernikahan resmi atau tercatat dengan pernikahan siri sudah tentunya memiliki rukun pernikahan yang sama, yaitu dengan adanya kedua mempelai, adanya wali, adanya saksi-saksi, serta adanya ijab dan kabul. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan tipe yuridis sosiologis atau penelitian yang berbasis pada ilmu hukum normatif, tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam aturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma tersebut bekerja di dalam masyarakat dengan pendekatan kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data primer yang diperoleh melalui wawancara dan sumber data sekunder yang diperoleh melalui bacaan yang relevan dengan penelitian. Data data tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah di Pekalongan Barat tepatnya di Binagriya Kelurahan Medono terdapat pasangan janda dan duda usia 28 dan 35 tahun, yang telah melakukan pernikahan siri dengan walinya adalah seorang kiai setempat. Kiai tersebut sengaja ditunjuk oleh kedua mempelai guna menjadi wali hakim dalam pernikahan siri yang dilakukan oleh kedua mempelai tersebut. Sedangkan di Pekalongan Selatan tepatnya di Kelurahan Buaran Kradenan dan di Kelurahan Banyurip terdapat dua pasangan yang sama-sama lajang berusia kisaran 22 sampai 31 tahun, yang juga telah melakukan pernikahan siri dengan walinya adalah kiai setempat yang diminta dengan sengaja untuk menjadi wali dalam pernikahan pernikahan tersebut. Adapun wali nashab dari masing-masing mempelai wanita tersebut sebenarnya masih hidup dan mampu mewalikan. Kiai sebagai wali hakim dalam pernikahan siri bagi perempuan berwali tersebut dipandang sebagai sebuah khilafiyah atau perbedaan pendapat. Namun, hal tersebut tetaplah mengabaikan salah satu rukun nikah yaitu adanya wali. Jika wali nashab tidak bisa hadir atau tidak berkenan hadir dalam sebuah pernikahan, maka dapat menggunakan wali hakim. Wali hakim yang dimaksud tersebut adalah wali hakim yang pengangkatannya diatur oleh negara. Mengenai implikasi hukum terhadap pernikahan siri bagi perempuan berwali yang walinya menggunakan wali hakim kiai, pernikahan tersebut tidak sah karena tidak terpenuhinya syarat dan rukunnya pernikahan. Yang mana dalam hal ini ialah kehadiran wali nikah dari pihak perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Akan tetapi pada pernikahan janda dan duda terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa pernikahannya sah berdasar pada Madzhab Hanafi.
23SK2311046.00 | SK HKI 23.046 DEW p | My Library (Lantai 3, Local Content) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain