e-BOOK
Seni di Arab Saudi & Indonesia: Sejarah dan Perkembangan Kontemporer
Jika di Arab Saudi, masyarakat sedang bergairah menyambut (kembali) kehadiran dunia kesenian lokal dan budaya tradisional yang cukup lama “mati suri”, di Indonesia ada tren yang cukup berbeda belakangan ini di mana apresiasi publik terhadap dunia kesenian lokal cenderung menurun. Kenapa beberapa tahun terakhir ini Arab Saudi mengapreasiasi budaya tradisional dan kesenian lokal dan bahkan gencar mempromosikan di tingkat internasional sementara tren di Indonesia justru sebaliknya? Yang saya amati, salah satu faktor mendasar adalah
perubahan persepsi dan perilaku keagamaan. Sudah cukup lama Arab Saudi, karena pengaruh ideologi “Shawaisme” (ideologi hibrida akibat perkawinan silang antara Wahabisme dan Qutubisme), mengadopsi corak Islam militan-konservatif yang tidak ramah dengan dunia kesenian karena dianggap tidak syari, tidak islami, berlawanan dengan aqidah Islam, dan seterusnya. Tapi kini Arab Saudi mengadopsi dan mempromosikan keislaman yang bercorak moderat (wasatiyyah) yang cenderung ramah dengan budaya tradisional dan kesenian lokal. Dampaknya, tidak ada atau nyaris tidak terdengar lagi suara-suara sumbang yang mengafirkan, mengsyirikkan, atau membidahkan, prakti-
praktik kesenian lokal. Fenomena ini sangat kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini yang ditandai dengan maraknya pengafiran, pengsyirikan, dan pembidahan aneka ragam produk dan karya seni lokal seperti wayang, gamelan, arca, tayub, dlsb atas nama akidah Islam atau pemurnian ajaran dan syariat Islam yang mereka yakini dan pedomani.
Meskipun agama menjadi faktor yang penting tetapi tentu saja bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan maraknya apresiasi atas kesenian lokal di Arab Saudi atau merosotnya apreasiasi terhadap seni-budaya lokal di Indonesia. Sejumlah faktor lain juga turut mempengaruhi.
081 | 709 | Website | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain